Rabu, 23 November 2011

SENI DAN KEPEDULIAN SOSIAL


Apalah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah artinya berfikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan
Kepadamu aku bertanya?
(WS. Rendra, Sajak  Sebatang Lisong)
Kamis pagi, 18 Desember 2010, sebuah pertunjukan sederhana bertemakan bencana Merapi dan Mentawai digelar di lapangan SMA Negeri 1 Singaparna, Tasikmalaya. Pertunjukan yang ditonton ratusan siswa dan orang tua siswa ini, disuguhkan oleh Teater Koteka, SMA Negeri 1 Singaparna berkolaborasi dengan enam  mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Sederhana memang pertunjukan yang digelar dalam durasi kurang lebih 30 menit ini.
Di antara alunan suara saluang, getaran karinding, tabuhan gendang dan goong serta bait-bait puisi yang disuarakan di lapangan terbuka, ada banyak yang sangat menyentuh dari kesederhanaannya ini. Bagi kelompok teater Koteka, sebuah kepedulian sosial tak sekedar wacana atau menggelar aksi mengumpulkan dana.
Mungkin inilah yang luput dari banyak aksi peduli bencana, yaitu bagaimana berterimakasih kepada para pemberi sumbangan dengan tidak hanya sekedar berucap “hatur nuhun”, “jajakallahukhairan katsira”, atau ucapan-ucapan terima kasih sejenisnya.
Hal yang menarik dari Teater Koteka adalah bahwa pertunjukan tersebut digelar sebagai bentuk terima kasih kepada siswa dan orang tua siswa yang telah mengumpulkan dana untuk membantu saudara-saudara kita di Merapi dan Mentawai dengan perolehan sumbangan sukarela sebesar Rp. 17.161.950,- . Menurut pembina teater Koteka, Agus AW, angka diatas 17 juta tersebut adalah murni sumbangan siswa dan keluarganya. Murni dalam arti tidak dibumbui dengan aksi menenteng kotak sumbangan ke masyarakat, apalagi menengadahkan tangan atau menenteng sair di pinggir jalan sambil membuat kemacetan berhari-hari.
Mungkin sebuah pertunjukan sederhana sebagai ucapan terima kasih bukanlah hal yang istimewa. Tapi paling tidak pertunjukan tersebut memberi penyadaran bagaimana berterimakasih dengan lebih santun. Di samping pertunjukannya yang bertema refleksi atas berbagai bencana di negeri ini, merupakan sebuah nilai-nilai pencerahan tersendiri bagi apresiatornya.
***
Apa yang dilakukan teater Koteka, mengingatkan saya pada sebait lagu rock dari band asal Bandung, Seurieus, “Rocker juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati”. Begitulah adanya, seniman adalah manusia. Manusia seniman yang punya rasa dan hati, sejatinya harus mempunyai kepekaan yang baik terhadap alam, lingkungan dan masyarakatnya. Seniman dengan kepekaan yang baik semestinya melahirkan pribadi seniman tak hanya cerdas dan kritis seperti pisau belati, tapi harus juga mempunyai kepedulian yang nyata terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya.
Ringkasnya, bagaimana kepedulian sosial tidak sekedar dibangun dalam wacana dan retorika. Seni tidak menuntun seniman untuk menjadi pribadi yang pelit dan tanpa belas kasihan. Tak eloklah kiranya jika seniman bersembunyi dalam seni untuk menutupi ketidakpedulian. Tapi justru senimanlah yang mesti lebih peduli dan mau berbagi dengan orang lain untuk lebih menajamkan kepekaan intuisinya.
Gerak kepekaan yang menuntun seniman menuju karya-karyanya. Karya seni yang diisi rasa manusia, sebuah ruang ekspresi bagi kegelisahan-kegelisahan yang mengendap, lalu bergejolak menerobos berbagai pengucapan seni, menjadi puisi, prosa, drama, teater, musik,  lagu, tari, film dan sebagainya. Dan mengucurlah berbagai kepuasan seni yang tiada hentinya.
Seorang seniman yang baik akan membaca realitas sosial dengan peka. Sedang kepekaan tak hanya mencapai hasrat untuk mencapai kepuasan-kepuasan seni. Karena hasrat tersebut bisa saja menjadi jebakan yang menghancurkan kepekaan seniman.
Seorang penyair yang peka terhadap bencana Merapi mungkin akan menyerap berbagai peristiwa tersebut ke dalam rasa kemanusiaannya. Ia akan diburu hasrat untuk menulis sebuah puisi, atau paling tidak mengendapkannya untuk dijadikan puisi di kemudian hari. Jika puisinya lahir dari hasrat itu, lalu sampailah ia pada kepuasan yang diinginkan. Bisa jadi puisi itu dianggap sebagai satu-satunya bentuk kepedulian. Sedang sejatinya kepedulian sosial adalah bentuk kepekaan terhadap penderitaan manusia lainnya sehingga menggerakan rasa kemanusiaan kita untuk saling berbagi.
Kepekaan seniman mampu menyerap berbagai peristiwa dari banyak sudut pandang. Kepekaannya tidak hanya sekedar menyerap tragedi ratusan orang yang kehilangan nyawa, ribuan korban yang merintih kesakitan, rumah-rumah yang hancur atau harta benda yang habis dilalap lahar dan abu vulkanik. Kepekaan seniman bahkan mampu menembus batas-batas audio visual. Maka tak eloklah kiranya jika kepekaan seniman hanya berakhir pada puisi, hanya selesai pada karya seni. Tapi kepekaan itu semestinya melahirkan kepedulian untuk saling mengasihi dan saling berbagi dengan berbagai cara, termasuk berbagi dengan cara seni itu sendiri.
Kita patut bersyukur masih ada pelukis yang mau melelang lukisannya untuk amal,  masih ada sastrawan yang menerbitkan buku untuk disumbangkan, masih ada banyak seniman yang mau menjadi relawan dan terjun langsung ke lokasi-lokasi bencana..Ada banyak cara, tergantung kemampuan dan kreativitas masing-masing. Banyak cara yang menurut WS Rendra akan membentur jidat para penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan.
Rocker juga manusia, seniman juga manusia dan selama hidupnya tetap manusia. Apalah arti seniman tanpa manusia lainnya. Jika teater Koteka menyatakan peduli bencana dengan ikut menyumbangkan uang sekaligus menyumbangkan pertunjukan bagi para penyumbang lainnya, lalu bagaimana dengan teater lain dan kelompok kesenian lainnya? Jangan sampai hanya bisa sibuk mencibir kepedulian orang lain tanpa mampu melakukan tindakan kepedulian sosial yang lebih kreatif.


Sumber : http://mangkeluk.wordpress.com/2011/02/02/seni-dan-kepedulian-sosial/

0 komentar:

Posting Komentar